Senin, 12 April 2010

       Dari realita kehidupan yang telah kita lihat sekarang, banyak gagasan-gagasan yang membahas mengenai dampak dan krisis pendidikan yang kita hadapi sepanjang perjalanan karir bangsa kita ini. Satu hal yang pelu kita garis bawahi disini adalah kata ‘’Pendidikan itu’’ mengapa hal ini begitu penting ??
‘’Sebab pendidianlah yang membawa dampak yang luar biasa dalam kehidupan ini, merupakan suatu akses yang mengantarkan suatu bangsa untuk menjadi bangsa yang besar, dan memberikan pengaruh yang beragam kepada tiap individu yang menerimanya, hal itu tergantung dari baik tidaknya sistem pendidikan itu kita terima. Namun realita yang tejadi dengan pendidikan dan apa yang kita hadapi di saat ini ibarat sebuah buku yang terlihat ‘cantik‘ dari sampulnya saja. Banyak bangunan-bangunan sekolah hingga universitas-universitas yang begitu megah dengan SPP yang melambung seakan mengisaratkan kesan “good education’’ kepada publik, namun kenyataannya berkata lain. Dampak negatif yang paling nampak dalam pendidikan sekarang ini adalah krisisnya moral para pelaku dan pencari pendidikan itu.

     
Ini hanyalah satu masalah dari sekian banyak masalah-masalah pendidikan dari A-Z yang tak akan habis untuk kita bahas. Pendidikan kita masih jauh dari dasar cita-cita bangsa yang selama ini diimpikan oleh para provider pergerakan nasional kita terdahlu. “benar’’ kita sekarang ini telah menghadapi Zaman yang kompetitif tapi pendidikan kita masih belum kompetitif adanya. Kemerosotan pendidikan kita sudah terasakan selama bertahun-tahun, untuk kesekian kalinya kurikulum dituding sebagai penyebabnya. Hal ini tercermin dengan adanya upaya mengubah kurikulum mulai kurikulum 1975 sampai kemudian diganti lagi dengan kurikulum 1994. Namun sebenarnya, kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme sebagai penunjang kelancaran guru dalam melaksanakan tugasnya, sangat dipengaruhi oleh dua faktor besar, yaitu faktor internal yang meliputi minat dan bakat dan faktor eksternal yaitu berkaitan dengan lingkungan sekitar, sarana prasarana, serta berbagai latihan yang dilakukan guru.

      Profesionalisme guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi mutu dan profesionalisme belum sesuai dengan harapan. Banyak diantaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas.
Bayangkan saat ini pemerintah lebih mementingkan menyelesaikan masalah-masalah yang lain ketimbang memperioritaskan solusi terbaik untuk pendidikan kita ! Apa sebenarnya yang salah dengan penerintah saat ini ? ‘’untuk menyelesaikan persoalan Century saja mereka mampu mengucurkan dana yang tak main-main besarnya ! lantas bagaimana perhitungan dana untuk pendidikan ? hanya berapa persen yang mereka keluarkan untuk itu !! hanya satu kata untuk mendefenisikan sikap itu “krisis’’ tergantung dari teman-teman mengartikan sejauh mana kata krisis itu !
        Kisis teberat adalah kepercayaan. Kini kita mengalami krisis kepercayaan yang mengerikan. Bukan saja pada pemerintahan tetapi juga pada sesama komunitas. Bentrok dan konflik yang tadinya tejadi di tiap daerah, kini mermbah di kalangan fakultas pendidikan kita. Serangkaian riset, setumpuk data dan upaya pemecahannya seakan-akan membentur dinding. Sia-sia dan tak bisa dijalankan. Malahan persoalan bertambah runcing, kemiskinan memicu kriminalitas. Korupsi membawa ketidak adilan, militerisme membawa serangkaian pembunuhan pada rakyat. Dan repotnya pemerintah tidak memiliki jalan keluar yang cepat, cerdik dan mampu diterapkan. Membongkar dan mendirikan lembar baru ternyata jauh membawa masalah. KPU anggotanya terlibat korupsi, komisial yudisial juga, belum lagi kasus KPK. Hingga Mahkamah Agung dan Kejaksaan Menyaksikan korupsi didalamnya. hukum sandaran untuk kepercayaan telah lama ditanggalkan. Ini berbeda dengan masa lampau dimana kepecayaan rakyat akan kedaulatan dan integritas lembaga sangat tinggi.

         Krisis terberat berikutnya adalah “sistem”. Walau gagasan demokrasi menjanjikan segalanya tapi yang rakyat dapatkan adalah kesulitan demi kesulitan. Harga bahan pokok terus meninggi, lapangan pekerjaan sulit diperoleh. Keberadaan patai politik tak juga mampu meningkatkan kesejahteraan. Bahkan tugas pokok partai tak juga bisa diwujudkan. Sedangkan pembaharuan atas sistem politik tak memberi dampak langsung atas kesejahteraan. Apa yang bisa ditampilkan atas demokrasi liberal sekarang ini ? ‘’sebuah sistem demokrasi yang hanya jadi penyambung kapitlisme keji. Sebuah tatanan yag hadir untuk menetapkan posisi rakyat sebagai konsumen. Bukan sebagai pemegang kedaulatan. Itu sebabnya gagasan demokrasi yang tidak didasarkan pada realitas sosial hanya akan menjadi panggung bagi tampilnya aneka kepentingan. Kepentingan yang selalu bertentangan dengan kebutuhan rakyat kecil.

      Krisis paling puncak adalah kepemimpinan. Mitos tentang pemimpin besar kini dikerdilkan oleh pemimpin yang terampil. Harapan akan hadirnya pemimpin sipil diruntuhkan oleh pemimpin militer yang cekatan. Dan kini mulai muncul kader pemimpin dari kasta pengusaha. Kasta yang jumlahnya terus naik secara signifikan. ‘’Lantas apa yang bisa kita lakukan sebagai generasi muda saat ini ?
Terdapat banyak kecaman menyangkut tentang idiologi pembangunan yang kita kembangkan sekarang ini. Sudut kritikan yang menyengat adalah kepatuhan kita pada sistem pasar bebas. Suatu norma yang menyatakan terang-terangan kalau perdagangan semestinya diserahkan pada hukum bebas permintaan dan penawaran. hukum bebas ini yang membungkus keadilan ekonomi jadi kata pertumbuhan. Rakyat berubah jadi konsumen kemudian sederet istilah dengan cepat menyerbu ke publik yang membuat ekonomi kemudian menjauh dari apa yang diyakini oleh pendiri bangsa ini. Setidaknya Bung Hatta mengingatkan kembali bagaimana melihat perekonomian dibumi indonesia ini ! Hatta menulis :
       Perekonomian suatu negeri pada umumnya ditentukan oleh tiga hal. Pertama : kekayaayn tanahnya, Kedua : kedudukannya terhadap negara lain di lingkungan internasional, Ketiga : sikap dan kecakapan rakyatnya serta cita-citanya.
     Pada umumnya, politik nasional Negara-negara berkembang tidak mampu melepaskan diri dari kolonialisme baru berupa system ekonomi kapitalistik. Jarang Negara berkembang yang tetap konsisten dalam memperjuangkan nilai-nilai otonomi dan kemerdekaannya. Mengapa hal ini biasa terjadi ? diduga, kebanyakan faktor penyebabnya terletak pada kesalahan sistem perekonomian nasional. Kebanyakan Negara berkembang cenderung mengikuti model sistem perekonomian Negara-negara maju. Padahal secara filosofis, perilaku mengikuti berarti selalu berada dibelakang. Dan inilah yang terjadi dengan sistem perekonomian kita selama ini.
       Lantas bagaimanakah sikap pendidikan disaat itu ? apakah sederet pemimpin bangsa kita yang dikatakan terdidik itu tidak menelaah sebelumnya mengenai sistem seperti itu, sebelum diterapkan kepada rakyatnya ? seolah-olah pemerintahan kita memaksakan pemberlakuan sistem itu, dimana rakyat kita yang memang sepertinya belum siap, ‘’dipksa’’ untuk menerima kenyataan ini. ‘’apakah ini yang disebut demokrasi ?
Sebagai generasi muda, tentunya kita dituntut untuk ‘berpikir secara ‘kritis’ nah disini kita tidaklah hanya sekedar untuk melihat, mendengarkan, atau bahkan mengikuti sistem yang ada dan selalu cenderung berkata ‘ya ! kehadiran kita disini, untuk membicarakan, atau sekedar mewacanakan suatu argumen ‘‘kira-kira langkah apa yang dapat kita lakukan untuk keluar dari sederetan krisis kehidupan yang terjadi di Negara kita sekarang ini ? ‘dimulai dari krisis ekonomi, politik, hukum, pendidikan, kebudayaan dan sederetan krisis-krisis yang tak akan pernah habis kita bahas ! “apakah semua masalah itu timbul akibat dampak dari krisis ‘pendidikan’ kita atau karena perlakuan sistem yang sepertinya memang menyimpang ? Dari perkiraan kedua masalah itu, kira-kira manakah yang sebaiknya terlebih dulu kita benahi !
Kita baru saja telah melewati pergantian tahun, menuju tahun yang mungkin akan menjadi abad yang dikenal dengan abad pengetahuan. Dimana Akses Ilmu Pengetahuan dan teknologi itu semakin menjadi icon di Zaman yang kompetitif ini. Abad pengetahuan merupakan suatu era dengan tuntutan yang lebih rumit dan menantang. Suatu era dengan spesifikasi tertentu yang sangat besar pengaruhnya terhadap dunia pendidikan dan lapangan kerja. Perubahan-perubahan yang terjadi selain karena perkembangan teknologi yang sangat pesat, juga diakibatkan oleh perkembangan yang luar biasa dalam ilmu pengetahuan, psikologi, dan transformasi nilai-nilai budaya. Dampaknya adalah perubahan cara pandang manusia terhadap manusia, cara pandang terhadap pendidikan, perubahan peran orang tua/guru/dosen, serta perubahan pola hubungan antar mereka.
       Ada wacana yang mengatakan bahwa pendidikan itu diukur dari seberapa besar seseorang dengan materi yang ia miliki, bukan dari seberapa besar pemikirannya terhadap pengetahuan, ‘’ Benarkah uang bisa memecahkan masalah pendidikan kita yang dikritik karena membuat murid tidak kreatif, tidak berwawasan luas, dan tak berakhlak mulia? Kalau benar, berapa besar uang yang dibutuhkan untuk mengatasi semua masalah tersebut? Sebenarnya, apa sih yang dibutuhkan untuk mendidik anak itu? Materi pelajaran tidak harus berbentuk kertas segi empat yang di dalamnya ada tulisan atau gambar. Alam di sekitar si anak seperti batu karang, air sungai, pasir laut, atau daun pisang yang relatif murah serta terjangkau bisa menjadi materi pelajaran. Dana triliunan memang dibutuhkan untuk memecahkan masalah pendidikan kita, tetapi bukan segalanya. Anggaran yang memadai memang dibutuhkan untuk menggaji guru supaya mereka hidup layak serta manusiawi. Uang negara memang diperlukan untuk memperbaiki dan merawat gedung-gedung sekolah serta isinya. Tetapi, kalau semua masalah pendidikan digebyah uyah sebagai masalah uang, kita akan terjebak pada materialisasi dunia pendidikan, Semuanya nanti diukur dengan uang.
‘’Kalau ingin mengatasi masalah pendidikan, ada jalan yang lebih baik daripada hanya memfokuskan diri pada uang. Kita harus mendapatkan informasi yang benar mengenai kekurangan sistem pendidikan nasional dan lokal. Pernahkah kita melakukan survei terhadap guru, murid, serta orang tua secara lokal atau nasional, dan kalau perlu secara longitudinal dari waktu ke waktu untuk menyerap aspirasi mereka secara akurat? Lebih luas lagi,
        Pernahkah kita melakukan jajak pendapat terhadap masyarakat luas tentang model pendidikan yang diinginkan masyarakat yang majemuk seperti kita Informasi kekurangan dan keinginan para pengguna jasa pendidikan nasional itulah yang bisa digunakan membuat daftar belanja kalau uangnya sudah tersedia. Kalau belum tersedia, kita bisa melihat daftar tersebut untuk mencari kekurangan yang bisa diatasi dengan kemampuan berdikari alias memanfaatkan potensi alam sekitar.
         Mestinya kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat tidak perlu dibuat seperti halnya dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang konon tampak bagus dan seolah pro rakyat, namun sesungguhnya lebih berorientasi untuk mendaptkan keuntungan. Itu artinya bahwa perguruan tinggi boleh mengutip biaya besar bagi anggota masyarakat yang masuk perguruan tinggi. Atau dengan kata lain masyarakat yang melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi akan dibebankan biaya besar. Rakyat (mahasiswa) ini akan menjadi objek keuntungan kampus secara finansial.
      Sebagai penutup, permasalahan pendidikan di Indonesia merupakan tanggung jawab semua pihak sehingga dibutuhkan peran semua elemen bangsa ini untuk berpikir dan bertindak untuk memajukan pendidikan bagi seluruh warga negara. Tak terkecuali pemerintah yang mempunyai andil besar dalam membuat kebijakan yang seharusnya mementingkan rakyat, bukan kebijakan yang seolah-olah mementingkan rakyat namun sesungguhnya hanya kepentingan elit, golongan tertentu saja. Hendaknya lembaga pendidikan kita menjadi tempat untuk memanusiakan manusia Indonesia seutuhnya, bukan sebagai tempat meraih keuntungan belaka.
        Lembaga pendidikan jangan menjadi seperti perusahaan dagang produk yang orientasinya pada laba yang sebesar-besarnya. Dan untuk mencapai tujuannya dilakukan dengan strategi penarikan konsumen dengan cara memberikan diskon besar (subsidi) namun harganya telah dinaikkan lebih tinggi sehingga berapapun subsidi yang diberikan tidak akan berarti atau mengurangi beban masyarakat, sebab kemampuan membayar masyarakat masih sangat rendah dibawah harga yang dibebankan tersebut. Pemenuhan kebutuahn rakyat akan pendidikan yang layak akan terwujud apabila rakyat mudah mengakses informasi lembaga penidikan; kemudahan administrasi masuk perguruan tinggi, kualitas penidikan yang memadai, peningkatan kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana, dan peningkatan jumlah dan mutu tenaga pendidik beserta kesejahteraanya. Selain itu para pelajar tentunya diharapkan sadar dengan kemampuan atau life skill yang ia miliki sehingga didalam memilih pilihan jurusan yang nantinya mereka ambil, mereka lebih selektif menyesuaikan minat dan bakatnya disitu.






Makassar, 11 January 2010


Iman AsruLy

1 komentar:

Iman AsruLy mengatakan...

usulkan perubahan untuk pendidikan kita kedepannya !